Diadakan pada 8-11 April 2025 secara online selama 4 hari bersama pakar DBS, diskusi ini menyoroti bagaimana dinamika global saat ini semakin kompleks setelah Amerika Serikat menaikkan tarif impor dari 2,5% menjadi 24% — level tertinggi sejak era 1920-an. Kebijakan ini telah memicu gelombang ketidakpastian di pasar global. Indonesia, misalnya, menjadi salah satu negara yang terkena kebijakan tarif resiprokal dengan beban tarif mencapai 32%.
Menanggapi langkah Amerika, negara-negara besar seperti Tiongkok dan Uni Eropa memilih melakukan retaliasi langsung, sementara sejumlah negara lain, termasuk Indonesia, lebih mengutamakan jalur negosiasi. Menariknya, penerapan tarif resiprokal oleh Amerika Serikat terhadap hampir semua negara ditangguhkan selama 90 hari — kecuali untuk Tiongkok. Amerika juga memilih mengecualikan produk smartphone, komputer, dan beberapa barang elektronik lainnya dari tarif tinggi tersebut, untuk meminimalkan dampak domestik.
Dari sisi pasar global, risiko perlambatan ekonomi hingga potensi stagflasi kini semakin nyata. Harga komoditas dan volume perdagangan global mengalami tekanan. Meskipun demikian, muncul ekspektasi bahwa Federal Reserve (The Fed) dapat memangkas suku bunga untuk menopang pertumbuhan, meski pada saat yang sama US Dollar berpotensi kembali menguat akibat tingginya permintaan aset safe haven.
Di kawasan Asia dan ASEAN, dampaknya terlihat dari revisi proyeksi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB). Pertumbuhan PDB untuk enam negara utama ASEAN kini diperkirakan turun dari 4,7% menjadi 4,2%, sementara Tiongkok juga direvisi dari 4,5% ke 4,2%. Negara seperti Vietnam, Malaysia, dan Singapura menjadi yang paling terdampak, mengingat besarnya ketergantungan mereka pada ekspor.
Sementara itu, untuk Indonesia, tekanan dari kebijakan tarif global ini relatif lebih terbatas. Hal ini mengingat kontribusi ekspor Indonesia yang hanya sekitar 2% terhadap PDB dan sekitar 10% dari total ekspor. Dari sisi fiskal, indikator Indonesia terus menunjukkan perbaikan dan mulai kembali ke tren normal setelah sempat menghadapi sejumlah hambatan teknis di awal tahun. Bank Indonesia diperkirakan akan tetap bersikap defensif dalam waktu dekat, tetapi ruang untuk pelonggaran kebijakan moneter diprediksi akan terbuka pada paruh kedua tahun 2025
Tertarik mempelajari lebih banyak insights atau bergabung dalam diskusi bersama para pakar kami?
Kami dengan senang hati akan menghubungi Anda melalui tautan berikut ini.
Hubungi Kami