Evolusi Logistik di Indonesia: Kemunculan In-House Milik E-commerce

Lanskap logistik last-mile delivery kini menghadapi tantangan baru di tanah air dengan ketatnya persaingan dari in-house logistics milik e-commerce.

Evolutions of Logistics in ID

Konsumen hidup di dunia digital

Laporan e-Conomy SEA 2021 oleh Google, Temasek, dan Bain & Company mencatat bahwa Asia Tenggara memiliki tambahan 20 juta konsumen digital baru selama paruh pertama 2021. Hampir 60 persen dari pengguna baru ini berasal dari area di luar kota-kota besar, yang mengindikasikan adanya pertumbuhan penetrasi e-commerce di kawasan ini. 

Hal ini selaras dengan pernyataan Gubernur Bank Indonesia yang menyatakan nilai transaksi e-commerce tanah air menyentuh Rp401 triliun pada 2021 lalu, naik 50,6 persen dari tahun sebelumnya. 

Berdasarkan laporan yang diterbitkan oleh Momentum Works, meskipun belanja daring sudah menjadi hal yang lumrah, konsumen e-commerce di Indonesia masih terkonsentrasi di daerah Jabodetabek. Total belanja daring di daerah ini diperkirakan mencapai 60-70 persen dari total volume e-commerce tanah air.

Santanu Mitra, Managing Director Digital Economy Group DBS, menyatakan bahwa terpusatnya transaksi e-commerce di kota-kota urban Indonesia menyediakan peluang besar di luar Jabodetabek. “Terdapat setidaknya 170 juta konsumen di kota tier kedua dan ketiga yang belum terlayani secara maksimal karena kendala logistik, bahkan belum benar-benar menikmati kenyamanan berbelanja lewat e-commerce seperti di kota besar,” jelas Santanu.

Layanan logistik dituntut untuk lebih cepat dan efisien, dengan biaya pengiriman lebih terjangkau. Meski demikian, beberapa tantangan di bidang logistik masih harus dihadapi di Indonesia.

Tantangan logistik di Indonesia

Memiliki sekitar 17,000 pulau tersebar di seluruh Indonesia, aspek logistik di Indonesia masih menghadapi tantangan dalam area last-mile delivery (pengantaran akhir ke alamat pengiriman), terutama untuk daerah-daerah terpencil. Penyebaran geografis yang kompleks ditambah dengan kondisi infrastruktur seperti jalan rusak menjadi tantangan yang terus membayangi sektor logistik tanah air. 

Tantangan yang dihadapi penyedia layanan logistik, khususnya di sektor last-mile delivery, sangat bervariasi. Bagi pengiriman konvensional, waktu pengantaran lebih lama dengan adanya jadwal yang tidak fleksibel. Sementara bagi layanan on-demand, pengantaran memang dapat terjadi lebih cepat, namun dengan biaya yang lebih tinggi dan jarak yang terbatas.

Potensi layanan pengantaran last-mile

Di Indonesia, sejumlah penyedia layanan logistik 3PL (third party logistics/logistik pihak ketiga) seperti J&T dan JNE mengalami pertumbuhan volume besar di tahun 2020, hingga melayani 1,6-2 juta order pengiriman per harinya.

Demi melayani kota-kota tier kedua dan ketiga ini, sejumlah pemain lama industri logistik maupun startup dan pengelola e-commerce pun bersama-sama membangun jaringan pergudangan dan pengiriman.

Beberapa pengelola platform e-commerce di dalam negeri mulai membangun solusi logistik milik sendiri atau in-house. Salah satunya adalah Shopee yang menawarkan Shopee Xpress sejak 2019.

Adopsi pengantaran on-demand bagi pemain e-commerce

Lazada merupakan pionir di layanan logistik in-house di Asia Tenggara. Dengan pusat pemrosesan dan pemenuhan order yang menempati lebih dari 300.000 meter persegi lahan di 6 negara di Asia Tenggara, Lazada memproses sendiri lebih dari 85 persen dari total paket yang dibeli para penggunanya pada 2021 lalu.

Perkembangan pesat logistik in-house mendorong para penyedia layanan logistik 3PL untuk berkembang lebih cepat agar tetap relevan dan berdaya saing.

Beberapa upaya dilakukan oleh pihak 3PL adalah mengembangkan jangkauan layanan dan meningkatkan efisiensi pengeluaran. Layanan 3PL juga dapat bekerja sama dengan platform lokal untuk menekan biaya kirim–bahkan hingga ke pelosok tanah air–dengan penyedia on-demand delivery seperti Grab dan Gojek. 

Layanan logistik same-day, on-demand delivery saat ini didominasi oleh Grab dan Gojek dengan armada besarnya yang tersebar di seluruh Indonesia. Pengantaran yang demikian memungkinkan proses lebih cepat untuk dalam kota dengan opsi pengiriman instan (1-3 jam) atau di hari yang sama (6-8 jam). 

Keduanya juga merambah layanan pengiriman paket, serta mendominasi layanan pengiriman makanan (food delivery) dan kebutuhan sehari-hari (e-grocery). “Pengantaran on-demand pada akhirnya juga akan menjadi pendekatan yang diambil oleh e-commerce dengan solusi logistik in-house miliknya, menyediakan solusi dalam hal kecepatan waktu pengantaran dan menjawab kebutuhan konsumen terhadap kenyamanan berbelanja online,” ujar Santanu. 

Pengembangan skala bisnis dan efisiensi akan menjadi faktor penentu untuk bisa memimpin persaingan. Ranah kompetisi industri selanjutnya akan membuat para pelaku usaha logistik 3PL bersaing dengan jaringan logistik in-house untuk menyediakan pengantaran yang lebih cepat dan terjangkau bagi konsumen di kota metropolitan dan kota-kota kecil. 

Bank DBS meluncurkan Digital Economy Group (DEG) untuk memberikan dukungan strategis bagi perusahaan-perusahaan yang tengah berkembang dalam teknologi dan ekonomi digital global. Grup ini membantu nasabah memanfaatkan Ekosistem DBS terkoordinasi yang memungkinkan transaksi di enam penawaran produk inti. Tidak hanya melayani perusahaan ekonomi digital saja, tetapi meluas hingga promotor dan mitranya

Layanan produk DEG mencakup layanan advis pada Seri B untuk peningkatan modal pra-IPO, IPO, M&A, dan menyediakan solusi pinjaman terstruktur di seluruh pasar fokus kami yaitu, Singapura, indonesia, India, Cina, Hong Kong, Taiwan, dan Vietnam.

Temukan lebih lanjut bagaimana DBS bisa membantu perkembangan perusahaan teknologi dan startups untuk berkembang di situs web ini. Hubungi kami di [email protected]


Artikel ini pertama kali dipublikasikan di laman Tech in Asia Indonesia.